selamat datang

Sampaikan Walau Hanya Satu Ayat

Jumat, 29 Agustus 2014

KONFLIK ACEH




Konflik vertikal Aceh punya akar sejarah panjang. Akar konflik berkait erat dengan hubungan kekuasaan antara pemerintah pusat dengan rakyat dan elit sosial Aceh. Masalah yang terjadi di Aceh terutama bersifat ekonomi-politik dan sosiologi-politik ketimbang kesediaan rakyat Aceh bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia. 
Aceh adalah wilayah yang paling bersemangat untuk berdiri dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tahun 1947, rakyat Aceh menyumbangkan dua pesawat komersial kepada pemerintah pusat. Selain itu, mereka juga menyumbang sejumlah dana operasional bagi negara muda, serta pemberian izin pada pemerintah pusat untuk menggunakan tanah Aceh sebagai air base penerbangan diplomasi Indonesia ke luar negeri guna mencari dukungan dunia internasional bagi kemerdekaan Indonesia. Bahkan, dua bulan setelah kemerdekaan Indonesia diproklamasikan, rakyat Aceh membuat maklumat berbunyi berdiri di belakang maha pemimpin Soekarno. Maklumat ini diantaranya ditandatangani Teungku Daud Beureueh, tokoh karismatik Aceh. Secara historis pula, kehendak Aceh berdiri di dalam Indonesia telah berproses lama. Antaranya lewat interaksi Sarekat Islam yang membuka cabangnya di Aceh tahun 1916, Insulinde tahun 1918, Sarekat Aceh tahun 1918, berdirinya sekolah-sekolah Islam formal-modern sejak 1919, pengiriman pemuda-pemuda Aceh ke sekolah Muhammadiyah di Jawa, dan berdirinya Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA) yang progresif tahun 1939. Seluruh proses ini, intinya, mendorong rakyat Aceh familiar dengan konteks sosial Indonesia sehingga melahirkan dukungan politik dan sosial bagi eksistensi negara Republik Indonesia.
Masalah mulai muncul sejak hadirnya Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Sumatera. Pasca penangkapan Sukarno-Hatta oleh Belanda, pejabat PDRI – di bawah tekanan Belanda – mengangkat dua Gubernur Militer. Salah satu dari mereka adalah Teungku Daud Beureueh, yang memerintah Daerah Militer Istimewa Aceh, Langkat, dan Tanah Karo untuk kemudian dibentuk pula Provinsi Aceh dengan Teungku Daud Beureueh selaku gubernurnya. Selepas PDRI, berlaku negara Republik Indonesia Serikat (RIS). Namun, RIS tidak memasukkan Aceh sebagai sebuah provinsi mandiri seperti PDRI dahulu ke dalam konstitusinya. Aceh hanya dijadikan salah satu karesidenan, bagian dari provinsi Sumatera Utara. Perubahan ini mendorong munculnya kekecewaan di kalangan tokoh sosial Aceh, sehingga menganggapnya sebagai bentuk kurang amanahnya pemimpin Indonesia atas Aceh. Sebagai reaksi politik, Teungku Daud Beureueh terpaksa memproklamasikan daerah Aceh sebagai bagian dari Negara Islam Indonesia tahun 1953. Pemisahan yang dilakukan Aceh adalah demi mempertahankan keunikannya. Konflik elit politik nasional di Aceh usai tanggal 26 Mei 1959 saat Aceh diberi status Daerah Istimewa dengan otonomi luas, utamanya dalam bidang adat, agama, dan pendidikan.
Selain kekecewaan pada pemerintah pusat, konflik juga muncul akibat marjinalisasi identitas kultural masyarakat Aceh. Sebagai komunitas politik dan sosial otonom pra kolonial, Aceh punya konsep khas tentang budaya mereka (terkait agama Islam) yang berkembang sejak masa kesultanan Samudera Pasai. Identifikasi kultural yang lekat pada agama Islam mendorong negosiasi politik antara pimpinan Aceh dengan pemerintah awal Indonesia untuk menyelenggarakan syariat Islam di wilayah Aceh. 
Konflik kembali meruyak setelah pada tahun 1974 pemerintah pusat menerbitkan UU No.5 tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah dan UU No.5 tahun 1979 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Desa. Kedua undang-undang ini dianggap mengancam kekhasan sosio-kultural Aceh. Struktur administrasi baru masyarakat Indonesia juga harus diterapkan di Aceh sehingga merombak lembaga-lembaga adat yang telah ada sejak lama. Untuk menjamin penetrasi UU tersebut, pemerintah pusat menciptakan jaringan elit lokal sebagai perpanjangan tangan dari elit pusat. 
Selain problem identitas kultural, Aceh pun mengeluhkan eksploitasi dan ketimpangan ekonomi. Tekanan pemerintah Orde Baru untuk memacu pertumbuhan ekonomi mendorong eksploitasi besar-besaran atas pabrik LNG Arun dan pupuk Iskandar Muda. Lewat eksploitasi tersebut, Indonesia mampu keluar selaku eksportir LNG terbesar dunia dan 90% hasil pupuk yang dihasilkannya di Aceh mampu digunakan sebagai komoditas ekspor penghasil devisa negara. Eksploitasi lalu mendatangkan masalah saat terjadi reduksi pengembalian profit ekonomi dari pusat ke Aceh. Tahun 1993, LNG Aceh menyumbang 6.664 trilyun rupiah pada pemerintah pusat, sementara yang kembali ke Aceh hanya 453,9 milyar rupiah. Lebih ironis lagi, survey BPS 1993 menemukan fakta bahwa Aceh memiliki desa miskin terbesar di Indonesia yaitu 2275 desa.
Gencarnya pembangunan pabrik untuk eksploitasi alam berdampak pada meningkatnya kaum pendatang ke Aceh, utamanya dari Jawa. Para pendatang ini dianggap – dari kamata para pengelola pabrik – lebih profesional. Ketimpangan rekrutmen pekerja ini mendorong munculnya prejudis di kalangan Aceh atas pendatang sehingga memperkuat jargon anti Jakarta yang terkembang dalam Gerakan Aceh Merdeka. Di lain pihak, masyarakat Aceh secara rasional mulai menyadari bahwa hasil tambang (gas dan minyak bumi) mereka telah tereksploitir dan profitnya lebih banyak dibawa ke pusat ketimbang dikembalikan ke daerah. Bukti bahwa konflik Aceh belum usai adalah seorang tokoh Aceh, Hasan Datuk di Tiro, mendirikan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) tahun 1976, dengan propaganda anti Jawa. Berdirinya GAM merupakan sebuah katup pelepasan rangkaian faktor pendorong konflik di Aceh. Manifestasi konfliknya bersifat vertikal, yang direpresentasikan konflik militer antara GAM versus ABRI (saat itu). Lebih tinggi lagi, konflik daerah versus pusat. Dalam konflik ini, Aceh dimasukkan ke dalam Daerah Operasi Militer (DOM). Sikap pusat ini bukannya melemahkan GAM, justru sebaliknya, memperkuat justifikasi atas eksisnya eksploitasi pusat terhadap Aceh dan membenarkan gerakan mereka. 
Pemberlakuan DOM mengindikasikan resolusi konflik yang state-centric, di mana kekuatan militer digelar sejak tahun 1970-an. Resolusi konflik tidak kunjung meredakan konflik, karena sifatnya reaktif, tidak menyentuh akar konflik, dan didominir penggunaan kacamata pemerintah pusat. Pemerintah Indonesia kembali membuka dialog perdamaian dengan tokoh-tokoh GAM. Puncaknya adalah penandatanganan Memorandum of Understanding (MOU) oleh Pemerintah Republik Indonesia (diwakili Menkumham Hamid Awaludin), Gerakan Aceh Merdeka (diwakili Malik Mahmud selaku Pimpinan Delegasi GAM) dan Martti Ahtisaari (mantan Presiden Finlandia, ketua dewan direktur Crisis Management Initiative sebagai fasilitator) pada hari Senin tanggal 5 Agustus 2005 di Helsinki, Finlandia. 
Dalam butir 1.1.2.a MOU tersebut, Aceh berwenang mengatur semua sektor publik kecuali hubungan luar negeri, pertahanan luar, keamanan nasional, hal ikhwal moneter dan fiskal, kekuasan kehakiman, dan kebebasan beragama yang seluruhnya tetap berada di tangan pemerintah pusat. Aceh juga berhak menggunakan simbol-simbol bendera, lambang, dan himne sendiri. 
Di bidang ekonomi, Aceh – secara unilateral – berhak memperoleh dana lewat hutang luar negeri, bahkan menetapkan tingkat suku bunga berbeda dengan yang ditetapkan Bank Sentral Republik Indonesia (Bank Indonesia). Aceh juga berhak menguasai 70% semua hasil yang diperoleh dari cadangan hidrokarbon dan sumber daya alam lainnya di wilayah darat dan laut Aceh, baik saat penandatangangan MOU maupun di masa mendatang. 
Kini, merupakan tugas seluruh pihak, baik pemerintah daerah Aceh, rakyat Aceh, pemerintah Republik Indonesia, dan seluruh warganegara Indonesia untuk mempertahankan keberhasilan perdamaian yang telah dicapai dengan susah payah. Kini Aceh harus membangun, terlebih setelah hentakan Tsunami dan konflik berlarut-larut yang terjadi selama ini.

            Kesimpulan

Dari hasil makalah di atas dapat di simpulkan Konflik yang terjadi di Aceh merupakan konflik yang terjadi karena rasa kekecewaan yang telah lama terpendam di hati rakyat Aceh yang merasa sangat dirugikan oleh pemerintahan Indonesia. Hubungan yang kurang harmonis antara Aceh dengan pemerintah pusat dan juga masalah pembagian hasil keuntungan yang sangat merugikan Aceh membuat konflik di Aceh sremakin rumit. Kekecewaan rakyat Aceh akhirnya terealisasi oleh pemberontakan-pemberontakan yang dilakukan oleh rakyat Aceh seperti pemberontakan DI/TII dan GAM. Pemberontakan yang terjadi di Aceh akhirnya dapat diredakan dengan dijanjikan kepada rakyat Aceh oleh pemerintah pusat, seperti rakyat Aceh diberikan kebebasan dalam hal pendidikan, agama dan adat. Namun, rakyat Aceh yang secara hukum telah diberikan kebebasan dalam hal pendidikan, agama dan adat namun pada kenyataanya kebebasan tersebut hanyalah suatu angan-angan yang dijanjikan oleh pemerintah pusat. Hal ini berakibat kekcewaan rakyat Aceh semakin besar dan mungkin pada suatu saat nanti rasa kecewa ini akan muncul ke permukaan apabila pemerintah pusat masih kurang serius dalam menanggapi masalah di Aceh ini.
Setelah Perdamaian MoU antara RI- GAM aceh memili hak feto sendiri dan berhak mengelola hasil alamnya sendiri, mungkin inilah yang di harapkan masyarakat aceh dari dulu
Daftar Pustaka
Alfian, Ibrahim. Perang di Jalan Allah: Perang Aceh 1873-1912. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1987
ASNLF. Nota Kesepahaman antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka, 2008 (http://www.asnlf.net/topmy.htm)
Bhakti, Ikrar Nusa. Beranda Perdamaian Aceh Tiga Tahun Pasca MoU Helsinki. Jakarta: P2P-LIPI dan Pustaka Pelajar, 2008
Hasan, Husaini. “Sejarah GAM (bagian ke-II)” Sejarah yang dibuat Dr.Husaini Hasan, 2008 (http://my.opera.com/bassayef/blog/perjuangan-bangsa-belomlah-selesai)
Kawilarang, Harry. Aceh dari Sultan Iskandar Muda ke Helsinki. Banda Aceh: Bandar Publishing, 2008
Lulofs, M.H.Skelely. Cut Nyak Din Kisah Ratu Perang Aceh. Depok: Komunitas Bambu, 2007.
Nurhasim, Moch. Konflik dan Integrasi Politik Gerakan Aceh Merdeka: Kajian tentang Konsensus Normatif antara RI-GAM dalam Perundingan Helsinki. Jakarta: P2P-LIPI dan Pustaka Pelajar: 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar